Liputan6.com, Jakarta - Permintaan kredit perbankan mulai pulih setelah menggeliatnya ekonomi usai pandemi Covid-19 yang melandai. Bersamaan dengan itu, kemampuan kreditur untuk membayar utang juga membaik, seiring dengan turunnya angka restrukturisasi kredit akibat pandemi.
Equity Research Analyst, CGS CIMB Sekuritas Indonesia, Handy Noverdanius menyebutkan, pertumbuhan kredit terjadi di semua lini. Namun, ada satu yang mendominasi atau yang paling banyak peminatnya yakni kredit atau pinjaman modal kerja.
"Pada awal tahun ini pertumbuhan kredit modal kerja di angka 7,4 persen. Sedangkan pada september tumbuh sekitar 12 persen dibanding periode yang sama tahun lalu," beber Handy dalam Money Buss edisi Indonesia's Banking: A pillar to economic growth in 2023, Kamis (17/11/2022).
Advertisement
Kredit investasi juga mencatatkan capaian serupa. Per September 2022, kredit atau pinjaman investasi tumbuh sekitar 10 persen yoy. Begitu pula kredit konsumsi, meski angka pertumbuhannya relatif lebih kecil dibanding kredit modal kerja dan investasi, yakni sekitar 9 persen.
"Jadi rata-rata pertumbuhan pinjaman di perbankan ditopang oleh hampir seluruh segmen baik itu wholesale, korporasi, maupun ritel,” imbuh Handy. Sementara dari sisi non performing loan (NPL) juga tercatat mengalami perbaikan.
Handy menuturkan, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), NPL terakhir di angka 2,7 persen dari sekurar 3 persen pada tahun lalu. Sejalan dengan itu, angka restrukturisasi kredit akibat pandemi COVID-19 juga turun signifikan.
"Trennya sama, kalau kita lihat secara year to date (ytd), angkanya sudah turun sekitar 25 persen sejak Desember hingga Agustus. Jadi penurunannya lumayan signifikan,” tutur Handy.
Bank Indonesia Bakal Kerek Suku Bunga Acuan
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) diperkirakan kembali menaikan suku bunga acuan. Equity Research Analyst, CGS CIMB Sekuritas Indonesia, Handy Noverdanius memperkirakan, BI akan menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps sampai akhir tahun.
"Menurut ekonom kita perkirakan suku bunga naik sekitar 50 bps sampai akhir tahun ini. Jadi kalau sekarang suku bunga di angka 4,75 persen, ekspektasi sampai akhir tahun naik jadi 52,5 persen,” kata Handy dalam Money Buzz edisi Indonesia's Banking: A pillar to economic growth in 2023, Kamis (17/11/2022). Dia menambahkan, kenaikan sebesar 50 bps akan berlangsung pada November dan Desember.
Sedangkan untuk tahun depan, diperkirakan belum ada kenaikan lebih lanjut. Alias kenaikan akhir tahun ini sementara disebut sebagai yang tertinggi.
"Untuk tahun depan, sampai saat ini ekonomi kita prediksi belum ada kebaikan lebih lanjut. Jadi 52,5 persen itu merupakan titik puncak BI rate menurut ekonom kita,” kata Handy.
Menyusul kenaikan tersebut, Handy menyebutkan bank skala menengah relatif lebih cepat ikuti suku bunga acuan terkini. Menurut dia, bank-bank besar memiliki likuiditas yang besar pula, sehingga tak buru-buru melakukan penyesuaian suku bunga.
"Menyusul kenaikan suku bunga BI, beberapa medium size bank sudah naikkan bunga deposito 25—50 bps. Tapi kalau bank-bank besar seperti BCA, Mandiri, BNI, BRI, kenaikannya relatif lebih lambat karena likuiditas yang ada di bank besar juga lebih besar,” ujar Handy.
Advertisement
Kredit Bank Berkembang, Naik 11 Persen Jadi Rp 6.274,9 Triliun
Sebelumnya, kredit perbankan pada September 2022 tumbuh meningkat menjadi 11 persen secara tahunan, atau year on year (YoY).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengatakan bila ini utamanya ditopang kredit modal kerja yang tumbuh sebesar 12,26 persen yoy.
"Adapun, secara mtm, nominal kredit perbankan naik sebesar Rp 95,45 triliun menjadi Rp 6.274,9 triliun," terang Dian, Kamis (3/11/2022).
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) pada September 2022 tercatat tumbuh 6,77 persen yoy menjadi Rp 7.647 triliun.
Meski begitu, laju pertumbuhannya melambat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7,77 persen YoY, utamanya didorong perlambatan deposito.
Dian meneruskan, likuiditas industri perbankan pada September 2022 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuditas yang terjaga.
Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 121,62 persen (Agustus 2022, 118,01 persen) dan 27,35 persen (Agustus 2022, 26,52 persen), jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Risiko kredit melanjutkan penurunan dengan rasio non performing loan (NPL) net perbankan sebesar 0,77 persen (NPL gross, 2,78 persen).
Di sisi lain, kredit restrukturisasi Covid-19 kembali mencatatkan penurunan sebesar Rp 23,81 triliun menjadi Rp519,64 triliun, dengan jumlah nasabah juga menurun menjadi 2,63 juta nasabah (Agustus 2022, 2,75 juta nasabah).
Sedangkan, Posisi Devisa Neto (PDN) September 2022 tercatat sebesar 1,32 persen, di bawah threshold 20 persen. "Capital Adequacy Ratio (CAR) industri Perbankan pada September 2022 tercatat meningkat menjadi 25,12 persen dari posisi Agustus 2022 yang sebesar 25,07 persen," ujar Dian.
Ekonomi Dunia Memburuk, OJK Ketatkan Aturan
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menilai, stabilitas sektor jasa keuangan Tanah Air cenderung masih terjaga. Meskipun, ia tetap mewaspadai dampak dari pemburukan ekonomi dunia.
Ekonomi dunia yang memburuk ditandai dengan adanya pengetatan kebijakan moneter global yang agresif, tekanan inflasi, serta fenomena strong dolar AS. Itu berpotensi menaikan cost of fund dan mempengaruhi ketersediaan likuiditas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi dan investasi.
"Pergerakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar potensi meningkatkan risiko pasar yang berpengaruh pada portofolio lembaga jasa keuangan. Selain itu, risiko kredit juga berpotensi meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi," ujarnya dalam sesi Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner OJK, Kamis (3/11/2022).
Dalam upaya mencegah kerugian tersebut, pihak otoritas mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Salah satunya mempertimbangkan untuk melakukan normalisasi beberapa kebijakan relaksasi secara bertahap. Khususnya yang bersifat administratif yang dikeluarkan pada masa pandemi Covid-19.
"Seperti, pencabutan relaksasi batas waktu penyampaian pelaporan lembaga jasa keuangan. Hal ini mencermati perkembangan pandemi dan aktivitas ekonomi, dimana lembaga jasa keuangan dinilai telah dapat beradaptasi dengan kondisi new normal," terang Mirza.
Advertisement